Pages

Menapak 65 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Tahun ini Bangsa Indonesia memasuki 65 tahun kemerdekaannya, sejak pertama kali di proklamirkan oleh Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Selama jangka waktu tersebut, bangsa ini telah beberapa kali mengalami pergantian kekuasaan. Diawali dengan Soekarno sebagai presiden pertama dengan sistem ekonomi anti barat, mengapa saya sebut anti barat lebih didasarkan pada cara beliau menjalankan sistem tersebut yang sangat anti terhadap cara-cara kapitalis dan lebih cenderung ke 'Timur', walaupun bukti tertulis dan sejarah yang di ceritakan menyebutkan bahwa bangsa ini menganut sistem ekonomi Pancasila. Tongkat kekuasaan selanjutnya di pegang oleh Soeharto, kebalikan dari Soekarno, beliau dengan jelas melandaskan pembangunan dengan berpegangan dengan kaum kapitalis barat untuk menarik investasi dari luar dengan menerbitkan hutang. Menurut Dr Revrisond Baswir MBA pada tahun 1968 hutang luar negeri Indonesia adalah sebesar 2,2 Miliar Dollar dan 40 tahun kemudian atau pada tahun 2008 telah mencapai 125 Miliar Dollar, sebagai catatan tidak semua hutang tersebut terbit saat pemerintahan Soeharto. Tetapi sejak itulah Bangsa ini mulai berkenalan dengan IMF sampai sekarang. 32 tahun presiden Soeharto berkuasa dan dilanjutkan dengan BJ Habibie setelah Tragedi Mei 98 dan berturut-turut pergantian Presiden yaitu Gus Dur, Megawati, dan sekarang oleh SBY.

Mulai dari Presiden Habibie, Gusdur, dan Megawati tidak banyak perubahan terjadi karena sebagai Presiden, mereka hanya sebentar dalam mengemban tugas masing-masing. Saat ini estafeta pemerintahan masih dipegang oleh SBY, setelah memenangi 2 kali pemilihan langsung. Catatan buruk terhadap pemerintahan ini bisa kita lihat dari kinerja eksekutif dalam mengeluarkan kebijakan, ketidak seriusan dalam menjalankan pemerintahan tergambar dari karut-marutnya bangsa ini. Mulai dari tidak berjalannya janji saat pilpres yaitu kebijakan BLT karena tentu saja Negara tidak mempunyai kekuatan dalam memanjakan lebih dari separuh rakyat miskin Negara ini. Perkembangan lainnya adalah tidak adanya kejelasan arah kebijakan pembangunan, antara pemerintah pusat dan daerah tidak tercipta sinergi tentang program kebijakan jangka panjang.

Tren yang muncul adalah jika ada pergantian kekuasaan maka kebijakan jangka panjangnya juga berubah. Saat ini sudah ada BAPEDA sebagai lembaga pemerintah yang merancang pembangunan tiap daerah, namun hal itu tidak berjalan dengan semestinya karena kebanyakan rencana hanya berupa wacana yang tidak bisa di aplikasikan. Problem klasik seperti tidak adanya dana atau terbentur dengan birokrasi atau tidak sejalan dengan visi kepala daerah sehingga lembaga tersebut tidak memberikan manfaat seperti yang diharapkan.

Pemerintahan pusat pun tidak jauh berbeda, apa yang telah direncanakan oleh kementrian pusat tidak bisa teraplikasi karena tidak sejalan dengan visi dari daerah. Hal ini sangat menghambat dalam pelaksanaan pembangunan bangsa secara utuh. Otonomi yang dahulu menjadi idola karena dianggap bisa mempercepat daerah dalam melakukan pembangunan, pada kenyataannya menjadi blunder karena apa pola pembangunan daerah pun tidak jelas. Semua itu terjadi karena ketidak siapan dari sumber daya daerah dalam mengelola potensi daerahnya masing-masing, salah satu contoh adalah budaya pembangunan Mall atau pusat perbelanjaan modern pada setiap daerah, saat ini sudah menjadi semacam kesepakatan baru dalam pemerintah daerah bahwa kemajuan dapat terlihat jika sudah ada perbelanjaan sekelas Mall di sana. Maka tidak heran jika pembangunan Mall di tiap daerah semakin banyak.

Apa Yang Terjadi

Jika kita perhatikan dengan teliti, kondisi bangsa ini sangat mirip dengan tampilan sebuah Mall. Saat kita memasuki Mall atau Super Market maka kita akan melihat betapa indah dan tertata rapi tempat tersebut, namun saat kita beralih menuju kedalam atau ke belakang dari apa yang terlihat oleh mata akan langsung berubah, dengan kondisi lorong-lorong dan tempat keluar masuk barang serta karyawan merupakan kebalikan dari apa yang telah di tunjukkan di depan tadi, tidak ada lagi lantai yang licin, lampu terang, lift yang wangi, dan sirkulasi udara yang baik, yang ada adalah kenyataan bahwa tempat seindah itu menyembunyikan kenyataan tembok suram karena lampu ber watt kecil, sirkulasi udara minim, dan lift barang yang penuh karat karena tidak terawat. Pemandangan itu membuka mata kita bahwa apa yang terlihat tidak selalu sama dengan kenyataan, seperti halnya dengan kondisi Indonesia dimana kemegahan Jakarta dan kota-kota besar terlihat sangat menjanjikan, namun pada kenyataannya disana terdapat banyak sekali rakyat miskin yang kelaparan, pengangguran, dan tanpa harapan dalam menatap hidup.

Beberapa hari yang lalu berita pada media massa nasional terkonsentrasi pada berita mulai berkembang lagi bunuh diri beberapa masyarakat, mereka seakan berharap segera menyelesaikan permasalahan yang seakan tiada berakhir. Masyarakat kembali mengalami kebingungan dalam menatap masa depan mereka, segala upaya untuk menyelesaikan masalah seakan terbentur dan tanpa jalan keluar. Ini harus segera ditanggapi dengan serius karena masyarakat mulai tidak memiliki kepercayaan diri dalam menjalani kehidupan, jika ini dibiarkan maka produktifitas rakyat yang saat ini sudah lemah akan semakin tidak terlihat. Janji-janji calon pemimpin yang dulu sempat membuai mereka akhirnya hanya merupakan buaian nina bobo sampai mereka terbangun dan melihat kenyataan pahit yang menunggu di depan.

Ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin terlihat dalam, dimana si A bisa berangkat sekolah dengan mobil atau motor keluaran terbaru, memiliki laptop, dan ditambah dengan hp blackberry, sedangkan si B hanya menggunakan kendaraan umum atau kalaupun motor hanya motor butut, masih menggunakan buku bekas saudaranya, dan hanya punya hp jelek. Tiap manusia pasti akan timbul rasa iri saat melihat itu, dan konflik itu yang dengan jeli di lihat oleh perusahaan pembiayaan atau leasing dengan iming-iming cicilan ringan dan tanpa bunga, mendorong siapapun untuk memiliki kemampuan dalam berbelanja.

Harapan tertinggi pada pemerintah pusat pun seakan percuma karena kalaupun pemerintah pusat bersungguh-sungguh akan banyak berbenturan dengan hukum otonomi sehingga tidak bisa ikut campur dalam menyehatkan daerah-daerah prematur. Akhirnya para kaum terpelajar juga mengalami kebingungan dan sangat resah. Harapan itu akhirnya menjadi semakin tidak jelas saat Presiden tidak lagi bisa melindungi rakyatnya, dan ini semakin menjadi beban bagi rakyat. Beberapa waktu ini sang Presiden lebih sibuk dengan keluhan-keluhan serta curhatannya dan reaksi atas segala kritikan yang datang, perilaku seperti itu hanya menambah keresahan bagi masyarakat. Sangat tidak wajar jika seorang panutan tidak memberikan motivasi bagi rakyatnya tapi malah menjadi pelengkap dalam kesusahan yang tengah diderita rakyat. Memang tidak adil jika kita hanya menyalahkan Presiden dalam karut-marut yang tengah terjadi, tapi sangat adil jika rasanya jika kita menyalahkan Presiden saat dia hanya menularkan virus keresahan dan keputusasaan pada masyarakat.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Kondisi seperti sekarang ini tidak bisa hanya diselesaikan secara parsial, level permasalahan ini sudah seperti akar tunggang yang menghujam dan sangat sulit untuk di cabut. Diperlukan sistem pendukung yang mampu mengatur dengan baik dari segi pengawasan dan pelaksana yang mau bekerja secara benar juga jujur. Masyarakat juga harus berani untuk melakukan perlawanan saat mereka dihadapkan pada hal-hal yang tidak benar. Terakhir untuk Presiden hendaknya jangan terlalu banyak mengeluh dan menyebarkan virus keputusasaan pada rakyat, sebaiknya Presiden lebih banyak memberikan semangat atau jika tidak mampu memberikan semangat lebih baik diam dan memperbaiki kinerja timnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar