Pelajar
di Kota Pelajar
Muhamad
Ardanari*
Setiap
pagi, pada jam-jam sebelum masuk sekolah kita pasti melihat para pelajar
lalu-lalang melintasi jalan-jalan di kota Jogja, keadaan seperti ini tidak
hanya terjadi di kota ini saja tetapi setiap penjuru daerah manapun yang
terdapat sekolah maka akan terjadi kondisi sama seperti di Jogja. Semakin
mendekati jam masuk maka semakin ramai mereka ber-sliweran di jalan-jalan kota
Jogja.
Bagi
pelajar TK dan SD , biasanya orang tua mereka mengantar anak-anaknya sampai ke
sekolah, alasannya mungkin agar cepat sampai atau agar mereka lebih aman tanpa
perlu khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sedangkan bagi
pelajar SMP serta SMA kebiasaan untuk diantar ke sekolah sudah mulai
ditinggalkan dan mereka lebih memilih untuk berangkat sendiri ke sekolah,
mungkin agar mereka lebih mandiri atau para pelajar itu takut di bilang manja
atau anak mami, kalaupun ada yang diantar pasti anak itu tidak bisa melawan
kehendak orang tuanya atau memang dia manja seperti apa yang sudah saya
sebutkan diatas, mungkin juga ada alasan-alasan lain yang tidak mungkin di
bahas satu persatu. Mereka yang berangkat sendiri ke sekolah pun punya cara
sendiri untuk berangkat sekolah, banyak dari mereka menggunakan angkutan umum,
sebagian lagi memilih untuk naik sepeda atau jalan bila rumahnya dekat dan
lainnya memilih menggunakan motor.
Kebanyakan
dari mereka memilih naik angkutan umum dan sepeda karena orang tuanya tidak
punya uang untuk beli motor atau lebih bagus bila walaupun orang tuanya mampu
tetapi mereka tidak ingin bergaya sehingga berangkat sedikit lebih pagi agar
tidak terlambat sampai di sekolah. Melihat niat tulus seperti itu, terbesit
kemulian serta harapan mereka untuk berusaha tanpa harus mengandalkan
kenikmatan dan yang paling penting adalah mereka mau untuk bersusah payah dan
tidak hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya. Sebuah hal wajar jika jarak
antara rumah dengan sekolah sangat jauh sehingga alasan untuk memakai motor
bisa luput dari perhatian orang tua, tetapi jika tanpa alasan jelas mereka
hanya ingin menunjukkan strata sosial yang lebih tinggi di banding teman-teman
sebaya lainnya, entah mau jadi apa mereka kelak?
Apalagi
kalau pelajar SMP sudah mulai memakai motor, alasan seperti apa yang bisa
mempengaruhi orang tuanya sehingga anaknya yang jelas akan melanggar hukum
malah di biarkan begitu saja. Jelas mereka melanggar hukum, alasannya adalah
ketentuan umur bagi mereka yang ingin membuat SIM adalah 16 tahun, atau
kira-kira kelas 1 SMA, nah itu letak pelanggaran hukum mereka, belum lagi sifat
ketidak dewasaan mereka yang ingin terlihat keren dan jadi pusat perhatian,
dengan ngebut dan ugal-ugalan di jalan raya sehingga membahayakan bukan hanya
diri sendiri tetapi juga orang lain. Masalah lainnya adalah strata sosial antar
mereka dan teman-teman yang orang tuanya tidak mau membelikan motor atau orang
tuanya tidak mampu membeli motor itu, dalam diri mereka mulai muncul sifat
angkuh dan merasa lebih dari manusia sebaya lainnya, kalau sifat ini timbul
dalam diri mereka, jangan pernah menyalahkan model pendidikan yang tidak becus
tetapi salahkan cara kalian mendidik sehingga membuat mereka seperti itu. Efek
terburuk dari kebiasaan pelajar SMP memakai motor ke sekolah adalah sikap malas
berusaha dan mau enaknya saja, sifat itu muncul karena hidup mereka lebih enak
dari teman-temannya maka akan terpupuk bahwa hidup ini mudah tanpa perlu
berusaha, hanya tinggal mengacungkan tangan maka apa yang diinginkan akan
mereka dapatkan. Itu bagi mereka yang orang tuanya mampu membeli sepeda motor
sedangkan bagi mereka yang tidak mampu, akan tercipta jurang pemisah yang
semakin lebar antara si kaya dan si miskin, karena mereka para pemilik motor
akan bergaul dengan golongannya dan si miskinpun melakukan hal yang sama.
Kenyataan
hidup seperti itu sangat mengerikan dan tidak mementingkan sisi moral sama
sekali. Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia dalam mengerjakan
sesuatu, dengan begitu, maka baranglah yang menjadi hamba kita, sedangkan jika
kita menjadi sangat ketergantungan dengan teknologi, maka secara langsung keadaan
menjadi terbalik dan membuat kita menghamba pada barang. Kalau sudah begitu
kehidupan ini tidak akan nikmat tanpa bantuan teknologi sehingga kita
ketergantungan dan malas melakukan apapun jika tidak mendapat bantuan barang
teknologi. Kalau generasi penerus kota ini tidak bisa melawan terhadap
ketergantungan ini dan hanya menyerah begitu saja, maka tinggal menunggu waktu
kota ini tidak lagi menjadi kota pelajar yang mendidik para pekerja keras
tetapi menjadi kota konsumsi dimana sebuah kota dengan tingkat konsumsinya
melebihi dari daya mereka memproduksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar