Pages

Sakit Dahulu Senang Kemudian
Pepatah ini mengingatkan kepada kita bahwa tidak akan ada kesenangan tanpa pengorbanan dan perjuangan. Indonesia bisa merasakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, itu juga merupakan hasil perjuangan. Ya, berjuang demi supremasi Indonesia demi melepaskan diri dari penjajahan, bahkan gema keberhasilan Indonesia saat itu dengan kemerdekaannya sampai bergaung ke setiap belahan dunia dan menstimulus Negara-negara jajahan lain untuk segera ikut memerdekakan diri. Sepenggal peristiwa yang membanggakan bagi Negara ini, satu catatan penting dari peristiwa itu adalah perjuangan tanpa lelah dan pengorbanan total dari setiap individu yang sadar akan pentingnya sebuah kemerdekaan. Sejak jaman orde baru sampai sekarang Negara kita memang terus berkutat dengan hutang, dari data hasil olahan Koalisi Anti Utang, diawali pada tahun 1950 dengan perincian utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 2,3 miliar dollar AS. Dari tempat yang sama juga bisa kita lihat tabel Penyerapan Utang Luar Negeri Pemerintah Periode 1967-2005:
Dalam Miliar dollar AS Dalam Rp Triliun (9000/USD) Dalam% KOMITMEN 365.88 3,292.95 100% JUMLAH YANG DICAIRKAN 162.13 1,459.17 44% JUMLAH YANG BELUM DICAIRKAN 203.75 1,833.78 56%
Sampai dengan akhir tahun 2005 bisa kita lihat bahwa besarnya hutang pemerintah kita sudah mencapai angka Rp. 1.459,17 triliun, pemerintah sendiri menurut data dari Koalisi Anti Utang (KAU) baru bisa melakukan pembayaran sebanyak 62 % dari hutang tersebut atau sekitar Rp. 902,83 triliun maka pemerintah masih memiliki tunggakan hutang atau outstanding loan sebesar Rp. 556,34 triliun lagi. Sesuai dengan kesepakatan antara kedua pihak bahwa pihak peminjam memiliki kewajiban untuk membayar commitment fee sebesar 1% dari total hutang komitmen. Sedangkan total jumlah hutang menurut catatan pembukuan pemerintah sampai dengan bulan Februari tahun 2009 ini telah kembali melambung ke posisi Rp. 1.500 triliun salah satu penyebabnya adalah fluktuasi mata uang yang kemarin terjadi. Mengacu pada data di atas maka dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa selama sekitar 3 tahun berselang dari periode pemerintahan saat ini telah terjadi peningkatan hutang sebanyak Rp. 943,66 triliun, dengan data ini maka dapat kembali kita simpulkan bahwa prestasi terbaik pemerintah adalah dalam hal menambah hutang dari pada melakukan pembayaran hutang, terbukti sudah bahwa gembar gembor bahwa pertumbuhan ekonomi terus meningkat, kesejahteraan rakyat juga meningkat, dan utang luar negeri lunas adalah bohong belaka. Pernyataan dari salah satu Calon Wakil Presiden tentang perlunya setiap Negara untuk melakukan utang demi pembangunan adalah sebuah alasan manis untuk menipu rakyat sebagai konstituen. Sekali lagi perlu di tegaskan bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan rakyat di biayai pemerintahan dengan cara UTANG kepada pihak asing. Salah satu tolok ukur dalam perhitungan peningkatan kesejahteraan adalah peningkatan kemampuan daya beli dari masyarakat, memang hal itu dapat menjadi salah satu ukuran riil terhadap peningkatan kesejahteraan dengan menggunakan logika sederhana jika setiap orang dapat meningkatkan belanja pribadinya misal dari 1 dollar/ hari menjadi 2 dollar/ hari maka akan terjadi kenaikan kurva daya beli masyarakat dan hal itu mengindikasikan bahwa kesejahteraan rakyat meningkat. Permasalahannya adalah jika peningkatan daya beli tiap-tiap orang itu menambah beban utang Negara karena terus di subsidi dengan berbagai program seperti BLT atau naiknya gaji pegawai negeri sipil tanpa diikuti dengan kemampuan pemerintah untuk mengembalikan utang-utang yang harus terus di buat maka hal ini menjadi bom waktu yang saat meledak nanti akan semakin membuat rakyat terpendam dalam kemiskinan. Mungkin banyak masyarakat yang akan marah bila mendengar rencana penghentian ini walaupun mungkin baru isu, untuk lebih mudah dalam memahami hal ini kita analogikan pemerintahan adalah sebuah rumah tangga yang di isi oleh orang tua dengan anak-anaknya. Sang anak bisa mendapatkan kehidupan layak seperti pangan, sandang, dan papan tetapi sang anak mendapatkan semua itu dari hasil utang orang tuanya karena orang tuanya tidak bekerja, maka selama masih ada yang mau memberikan pinjaman maka keluarga mereka akan aman tetapi saat sudah tidak ada lagi yang mau memberikan pinjaman atau saat pinjaman itu jatuh tempo maka keluarga itu akan hancur dan semakin parah kondisinya karena banyaknya utang dan tidak memiliki kemampuan untuk membayar tumpukkan utang itu cara terakhir dalam menyelesaikan masalah itu adalah dengan menjual barang-barang yang ada di rumah. Alangkah lebih baik jika uang hasil utang itu di gunakan untuk membuka usaha baru demi keberlangsungan hidup mereka. Berangkat dari analogi itu maka kita tarik kembali permasalahan ini kepada Negara, jika kita mengacu Negara pada cara Negara ini untuk menyelesaikan permasalahan utang tersebut adalah menjual hasil-hasil bumi kita yang tidak tergantikan seperti tambang minyak, batu bara, gas, emas, kayu hutan, dan lain-lain. Jika hal itu belum cukup besar untuk menanggulangi badai utang atau masih lebih besar pasak dari tiang maka masih ada perusahaan BUMN untuk di jual sahamnya kepada publik atau istilahnya adalah go public atau privatisasi walaupun ada salah satu klausul yang menyatakan bahwa pihak asing tidak boleh memiliki saham diatas 49% sehingga perusahaan itu tidak menjadi milik asing tetapi jika kita menggunakan persentase besarnya modal maka jika ada satu perusahaan asing misalnya memiliki hanya 25% tetapi dia pemegang saham mayoritas tetap saja BUMN itu telah berpindah tangan kepada mereka. Untuk Negara ini hal-hal itu belum cukup karena akhirnya pemerintah mensahkan UU Penanaman Modal no. 25 tahun 2007 dalam beberapa pasal khususnya pasal 7 ayat 1: Tentang pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi...kecuali dengan UU dan pasal 12 tentang jenis bidang usaha yang tertuang dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang jika di telusuri lebih jauh lagi maka akan terlihat dengan jelas bahwa Negara ini telah di obral kepada para kapitalis. Betapa mengerikan great sale yang dilakukan oleh pemerintah demi mendapatkan cadangan uang untuk melakukan pembayaran utang, KAU juga menerbitkan tabel perbandingan antara besarnya biaya pembayaran utang pemerintah dengan beberapa subsidi seperti kesehatan, pendidikan, pertahanan, dan pertanian dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2006 hasilnya adalah rata-rata pembayaran pemerintah untuk utang hampir selalu lebih dari 2x dari setiap subsidi untuk setiap sektor. Hal ini terjadi karena pemerintah terlalu gampang mengajukan proposal pinjaman walaupun syarat yang diajukan oleh lembaga-lembaga keuangan dunia khususnya IMF menginjak-injak kedaulatan setiap Negara yang mengajukan pinjaman dengan structural adjustment program (SAP) atau program penyesuaian struktural, beberapa program penyesuaian yang mereka ajukan seperti mengurangi secara drastis subsidi dalam kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat; privatisasi dan deregulasi BUMN; liberalisasi impor; menghilangkan hambatan bagi investasi asing; dan lain-lain. Mengutip pernyataan mantan Perdana Menteri Kim Il Sung yang dikemukakan oleh mantan Presiden Soekarno pada pembukaan Sidang Umum ke-3 MPRS, tanggal 11 April 1965 beliau mengatakan “Untuk membangun satu Negara yang demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita tetap hidup”. 44 tahun lalu Presiden Soekarno telah menekankan pada kita untuk merdeka secara ekonomi agar tercipta Negara yang demokratis tetapi mungkin hal ini dilupakan oleh para pejabat atau mereka memang sengaja lupa atau mungkin mereka tidak pernah mendengar pernyataan Presiden Soekarno itu. Jika keadaan ini di biarkan terus terjadi maka sampai kapanpun bangsa ini tidak akan bisa lepas dari utang dan nasib rakyat seperti saat ini tinggal menunggu waktu kehancurannya. Saat hal itu terjadi maka kesenangan yang nanggung dan semu akan menyakitkan dengan lebih parah pada saat nya saat Negara sudah tidak mampu lagi mengatasi pembayaran utang luar negeri karena sudah tidak ada lagi yang bisa di jual dan hanya pendapatan dari pajak akan di perbesar sehingga hal itu lagi-lagi menjadi beban rakyat. Pertanyaan paling pentingnya adalah bagaimana kita melepaskan diri dari belenggu utang? Sudah banyak para pakar ekonomi dan tata Negara yang mengeluarkan solusi dan jika di ambil benang merahnya adalah segera lakukan penyesuaian pembayaran utang seperti penghapusan bunga atau jika pemerintah berani melakukan pengajuan proposal penghapusan utang. Untuk mengatasi kondisi ekstrim maka kita harus berpikir secara ekstrim maka lakukan kontrak kerja ulang untuk hasil tambang dengan perbandingan 85% untuk Negara dan 15% untuk pengusaha setelah semua biaya di hitung dengan benar, atau jika pemerintah berani lakukan nasionalisasi untuk di kelola oleh perusahaan Negara, naikkan secara signifikan pajak dan royalti kepada perusahaan-perusahaan asing, jadi jangan hanya rakyat yang di bebani oleh pajak. Lakukan pemotongan gaji serta tunjangan kepada para pejabat di Negara ini minimal 50% untuk sementara waktu agar likuiditas terjaga. Tingkatkan ekonomi sektor riil agar daya beli masyarakat meningkat dan jumlah pengangguran berkurang. Lakukan pembatasan terhadap barang impor yang di produksi oleh dalam negeri agar industri dalam negeri terjaga. Berikan penyuluhan atau himbauan atau paksaan sekalipun agar bangga menggunakan produk dalam negeri. Setelah dana terkumpul berikan investasi kepada sektor pertanian, maritim, teknologi dan industri. Jika hal ini di jalankan bukan tidak mungkin kita dapat menjadi macan dunia. Jangan khawatir dengan embargo dan ancaman-ancaman dari para neolib karena jika sektor pertanian kita dapat mencukupi seluruh penduduk Indonesia maka tidak akan ada bencana kelaparan dan kita lakukan perdagangan dengan Negara-negara anti neolib seperti Iran, Venezuela, Bolivia, dan Negara-negara lain. Pada saatnya nanti bukan kita yang akan mencari kita tetapi saat barang-barang hasil produksi kita di akui oleh dunia maka mereka akan dengan suka rela berdagang dengan kita karena Indonesia sendiri adalah salah satu pusat perdagangan dunia dengan besarnya penduduk dan kekayaan alamnya. Maka sebenarnya tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mematuhi kita sebagai tuan rumah mengingat potensi yang kita miliki. Dengan begitu bersakit dahulu senang kemudian akan menaikkan derajat Indonesia di mata dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar