Pages

OPORTUNIS, MASYARAKAT, dan POLITIK di INDONESIA


            Oportunisme adalah sebuah pemanfaatan terhadap suatu kondisi atau keadaan tertentu oleh seorang  oportunis dimana seorang opotunis sejati tidak mementingkan landasan ideologi, tujuan, kepentingan masyarakat. Mereka hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri serta golongannya, bagaimanapun kondisi negara maka orang itu akan menemukan jalan untuk menonjolkan dirinya kepada rakyat agar nanti terpilih.
            Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang hidup dalam sebuah negara, dalam politik praktis, dalam sistem demokrasi masyarakat merupakan instrumen penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemilihan, hal itu terjadi karena demokrasi menitik beratkan pemilihan wakil rakyat terhadap seseorang untuk mengaspirasikan keinginan mereka untuk mendapatkan kehidupan dengan lebih baik. Peran sebagai wakil sekumpulan orang merupakan sebuah amanah dan tanggung jawab untuk dilaksanakan dalam masa waktu 5 tahun jika merunut pada sistem politik kita.
            Kehidupan berpolitik di Indonesia menganut sistem ¨Demokrasi Pancasila¨, dinamakan demikian karena sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila sebagai ideologi maka sangat wajar jika kita memakai Pancasila sebagai batasan dalam menjalani kehidupan berpolitik tujuannya sendiri sudah termaktub secara jelas dari setiap butir yang terkandung didalamnya. Salah satu pernyataan Bung Karno “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia.” Wawan tunggal, SH, Bung Karno Menggali Pancasila (kumpulan pidato), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000. Bung Karno sebagai salah satu the founding fathers bangsa ini menjelaskan secara gamblang kepada kita bahwa beliau tidak menemukan atau merumuskan Pancasila hanya semata melalui pemikiran beliau saja, tetapi Pancasila adalah kepribadian Indonesia atau jati diri dari bangsa Indonesia. Tidak salah bila demokrasi yang dianut oleh bangsa ini tetap mengacu pada Pancasila sebagai landasannya.

Pada tahun 1998 bangsa ini memulai sebuah babak baru dalam proses pendewasaan sebagai negara yang demokratis. Saat itu rakyat yang di motori oleh mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Soeharto, sehingga proses reformasi dapat berjalan tanpa ada penghalang, dan negara ini mulai berbenah dan salah satunya adalah memberikan kebebasan kepada setiap rakyat untuk membentuk kelompok serta berorganisasi atau kembali kepada Pasal 28 UUD 1945. Babak kehidupan berpolitik telah berulang, karena sebenarnya hal itu pernah terjadi pada jaman orde lama dimana pertumbuhan partai bak jamur di musim hujan, tumbuh dengan sangat cepat.
Hingga pemilu 2009 pertumbuhan partai baru terus meningkat, bertambahnya jumlah partai pasca pemilu 2004 silam sangat mengecawakan banyak pihak. Perpecahan dalam internal partai lama sebagai penyumbang terbesar pertambahan jumlah partai peserta pemilu 2009, jadi walaupun banyak partai baru yang bermunculan tetapi pucuk pimpinannya sama saja, rata-rata dari mereka adalah orang lama dari partai besar tetapi karena tidak mampu untuk naik kelas maka mereka membuat partai baru dengan tujuan dapat menaikkan kelas mereka walaupun harus mengeluarkan dana cukup banyak. Berapapun dana yang harus dikeluarkan tidak menjadi masalah selama mereka dapat menjadi Calon Presiden, entah darimana uang itu berasal apakah dari sumbangan orang lain, perusahaan atau berasal dari kantong sendiri. Semua itu tidak masalah demi menuntaskan keinginan tersebut, tanpa melihat kondisi bangsa sedang carut marut karena ketidak beranian pemerintah untuk melepaskan diri dari pihak asing yang terus saja mengambil hak-hak rakyat mulai dari exxon yang memenangkan tender blok cepu, perpanjangan kontrak oleh freeport walaupun telah jelas-jelas merusak lingkungan sekitar, belum lagi jika melihat ke utara Indonesia dimana pulau Kalimantan yang dahulu adalah salah satu pulau dengan hutan yang lebat saat ini hampir selalu terserang banjir setiap tahunnya apalagi penyebabnya kalau bukan karena hutan mereka saat ini sudah rusak oleh kepentingan kapital.
Entah luput dari penglihatan atau memang kepentingan untuk menyelamatkan negara hanya bisa dilakukan jika mereka para elit telah menjadi penguasa? Saya katakan demikian karena tidak terlihat bentuk nyata dari para elit itu untuk memberdayakan sumber daya bangsa ini untuk kepentingan negara demi anak cucu mereka nantinya. Janji-janji manis untuk memperbaiki kualitas kehidupan baik secara ekonomi atau pendidikan serta kesehatan yang sering terucap dari mulut mereka hanya terdengar sebagai janji hipokrit dari orang oportunis.
“Kita selaku bangsa yang mendambakan sosok demokratis jangan sampai terjebak pada sosok demokrasi liberal. Karena, bukan hanya tidak sejalan dengan nilai-nilai kultural Indonesia, tapi juga bertentangan dengan fitrah manusia.”(H. Achmad Tirtosudiro, sambutan dalam buku Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional dalam Arus Politik Global, juni 1997).
Satu tahun sebelum reformasi meletus di Indonesia H. Achmad Tirtosudiro telah mengingatkan agar jangan terjebak kedalam sistem demokrasi liberal sehingga melupakan pancasila sebagai panutan dalam menjalani kehidupan berpolitik dengan lima hal yang terkandung di dalamnya. Bila melihat apa yang terjadi saat ini kekhawatiran beliau telah menjadi kenyataan dimana si kuat akan memangsa si lemah. Kader partai baru tetapi memiliki modal banyak dan bisa menunjang biaya operasional partai akan dengan mudah menduduki posisi strategis dari pada kader yang sudah bertahun-tahun mengabdi tetapi hanya punya otak tanpa didukung oleh massa dan modal kuat. Jika dahulu  kader partai harus menunjukkan loyalitas terhadap partai untuk bisa duduk sebagai petinggi partai maka saat ini kader baru yang punya modal mumpuni bisa merubah angin dengan iming-iming sumbangan besar terhadap operasional partai tersebut. Memang biaya kampanye untuk menjadi partai dengan anggota terbanyak di DPR membutuhkan dana yang tidak sedikit tetapi jika hal itu di motivasi dengan uang dan strata sosial maka telah terjadi penghancuran secara sistematis terhadap bangsa ini. Korban terbesar tentu saja jatuh pada rakyat dimana mereka sebagai orang awam dan tidak tahu sifat hipokrit dari orang yang mereka pilih tanpa mereka sadari telah menjerumuskan bangsa ini kepada kehancuran.
Bulan April tahun ini, bangsa ini akan kembali menyambut pesta demokrasi dan diharapkan tidak menyianyiakan suara mereka dengan tidak memilih atau lebih dikenal dengan sebutan golput (golongan putih). Sedikit melihat kebelakang saat setiap daerah melakukan pemilihan kepala daerah yang dikenal dengan PILKADA kebanyakan dari setiap daerah pemilihan para golput-er atau fans golput memenangkan pemilihan tersebut, hal itu sangat mengkhawatirkan karena jika dari 31 propinsi di bangsa ini presentase golput-er menduduki peringkat pertama pada setiap pemilihan maka ada kemungkinan Presiden terpilih nanti tidak mendapatkan kepercayaan penuh dari rakyat dan hanya mendapat kepercayaan dari segelintir kader partai yang mengikuti PEMILU 2009 sebuah ironi jika Presiden pilihan rakyat ternyata adalah golput.
38 partai peserta pemilu 2009 tampaknya menyadari keadaan tersebut dan berlomba-lomba untuk memenangkan hati rakyat dengan merangkul ahli kampanye dengan menyewa mereka, tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan pemilu nanti ber-iklan melalui media baik itu elektronik, surat kabar, atau spanduk harus dilakukan agar rakyat tetap mengingat bahwa partai tersebut masih eksis. Modal adalah faktor penting bila partai ingin menggunakan jasa media tersebut untuk ber-iklan, bisa kita bayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan oleh setiap partai untuk beriklan dalam durasi beberapa menit itu, sebuah angka fantastis muncul jika kita sempat melihat sebuah acara talk show di salah satu tv swasta dari empat partai yang hadir pada acara itu masing-masing menyebutkan perkiraan nominal uang untuk ber-iklan adalah sebesar beberapa milyar, memang tidak satupun dari mereka mau menyebutkan secara jelas berapa sebenarnya dana yang sudah di keluarkan tetapi jika kita ambil angka rata-rata dana partai untuk belanja iklan adalah 3 milyar X 38 partai maka hasilnya adalah 114.000.000.000 sampai saat ini, untuk diingat bahwa hasil ini adalah perhitungan kasar tetapi saya pribadi yakin bahwa angka ini jauh lebih kecil dari realitas sebenarnya, tetapi memang agak susah untuk memprediksi secara pasti total pengeluaran dari partai untuk belanja iklan karena negara ini belum punya aturan khusus mengenai hal itu.
Mengalokasikan dana kampanye untuk kepentingan rakyat dapat membuktikan bahwa partai tersebut memang berjuang untuk rakyat. Janji kampanye untuk memperjuangkan nasib rakyat tetapi malah melakukan pemborosan dengan ber-iklan jor-joran sama saja dengan mengkhianati janji sendiri. Rakyat harus jeli dalam menentukan pilihan, fans golput akan bertambah seiring dengan perilaku boros dari para elit partai, maka tidak heran jika pemilu ke depan akan dimenangkan oleh golput jika tidak ada perubahan secara fundamental mulai dari calon presiden yang itu-itu saja sampai cara berkampanye yang sudah ketinggalan jaman. Semakin banyak orang mengeluarkan dana untuk mendapatkan sesuatu maka semakin terlihat kepentingan untuk mengambil kembali apa yang sudah dikeluarkan, maka berhati-hatilah dalam memilih karena pilihan tersebut akan berakibat sampai 5 tahun kedepan. Janji manis merupakan ucapan dan sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Semoga kita tidak melakukan kesalahan demi mengembalikan kehormatan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar